Wacana pemiskinan koruptor kembali mengemuka menyusul hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta kepada terpidana Gayus Tambunan pada 1 Maret 2012 lalu. Hukuman pemiskinan terhadap terpidana adalah sebuah terobosan hukum pantas diapresiasi di tengah rasa gemas dan nyaris frustrasi menghadapi praktik korupsi yang kian akut. Pemiskinan koruptor diharapkan bakal menghasilkan efek jera dan efektif mencegah wabah korupsi.
Dalam bahasa yang lebih lugas, rasa frustrasi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi misalnya tecermin dari ungkapan Gubernur Bibit Waluyo. Saat diskusi bedah buku beberapa waktu lalu, Bibit mengatakan, ”Semestinya korupsi dor, pengedar narkoba dor, jumlah penduduk 240 juta, mati 100 tidak apa-apa.” Pernyataan ini perlu ditafsirkan sebagai hasrat dari semua pihak akan perlunya ketegasan yang paling radikal dalam memberantas korupsi.
Pemberantasan korupsi selama ini ibarat berputar-putar pada persoalan efek jera yang gagal dihasilkan dari proses peradilan terhadap koruptor. Tuntutan pidana maupun vonis hakim sering kali lebih ringan dari hukuman maksimal dalam undang-undang. Bahkan, sejak digelar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, baru ada satu terdakwa yang divonis hukuman berat, yakni jaksa Urip Tri Gunawan yanhg divonis 18 tahun penjara dalam kasus suap yang melibatkan Artalyta Suryani.
Hukuman untuk Gayus, yang kemudian memunculkan kembali wacana pemiskinan koruptor, yang terakhir adalah penjara enam tahun. Hanya saja, total hukuman dari empat kali vonis dalam kasus-kasus lain menjadi 28 tahun penjara. Gayus juga dihukum dengan pidana denda senilai Rp 1 miliar. Vonis-vonis hukuman dan denda yang ringan terhadap koruptor akhirnya menjadi batu sandungan bagi penegakan keadilan dan pemberantasan korupsi.
Koruptor bahkan ”rela” menjalani hukuman yang toh hanya empat-lima tahun tetapi selepas dari penjara masih bisa menikmati timbunan harta hasil korupsi. Bahkan, dengan timbunan harta hasil korupsi itu mereka masih bisa melakukan apa saja untuk memperbaiki citra diri. Tindak korupsi bahkan menjadi semacam family values, ”nilai-nilai dalam keluarga” karena istri, para anak, dan kerabat, tanpa sungkan ikut mengamankan dan menikmati timbunan harta korupsi.
Karena itu, dengan semangat untuk segera membersihkan negeri ini dari belitan korupsi, kita dapat mengatakan bahwa pemiskinan koruptor adalah wajib. Dengan menggunakan perangkat undang-undang yang ada, pemiskinan terhadap koruptor dapat dilaksanakan. Misalnya, UU Pajak, UU Tipikor, serta segera mengesahkan RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang. Namun, lagi-lagi, semua itu hanya alat dan sangat bergantung pada ketegasan sikap penguasa.
0 komentar:
Post a Comment