Total Pageviews

Monday, March 5, 2012

Pembatasan Tipiring dan Revisi KUHP


DI tengah pesimisme akan keadilan dalam penegakan hukum, Mahkamah Agung (MA) berinisiatif menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pembatasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dalam kejahatan pidana yang dapat dijatuhi sanksi hukum (SM, 29/02/12).

Perma itu dimaksudkan untuk menyesuaikan batas tipiring dan jumlah denda berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa kasus pencurian/ penipuan dengan nilai uang di bawah Rp 2,5 juta merupakan kejahatan tipiring. Pelakunya tidak boleh ditahan dan harus diadili dengan hukum acara pemeriksaan secara cepat.
Sementara KUHP, terutama Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 KUHP secara jelas menyebut  sebuah perkara bisa dikategorikan tipiring jika menyangkut nilai uang di bawah Rp 250. Dengan nilai sekecil itu sesungguhnya KUHP tak pernah membatasi kategori tindak pidana yang dapat diproses di pengadilan.

Bahkan konsep dasarnya justru memandang semua kejahatan sama di depan hukum. Itulah yang menyebabkan mengapa proses pengadilan sangat panjang dan berlarut-larut, baik untuk kasus kecil maupun besar.
Substansi  yang diinginkan oleh Perma yang baru itu sesungguhnya bentuk dari respons positif MA dalam melihat dinamika di masyarakat. Artinya, ada ratusan, bahkan ribuan kasus tipiring yang dipaksakan disidang kendati tidak sebanding material kerugian yang ditimbulkan ketimbang biaya, waktu, dan tenaga yang dihabiskan oleh para hakim untuk mengadili kasus-kasus ’’kecil’’ tersebut.

Masih segar dalam ingatan ketika jagat hukum dihebohkan oleh pengadilan yang berlarut-larut kasus pencurian sandal jepit oleh bocah AAL, pencurian beberapa biji kakao oleh nenek Minah, dan pencurian 6 piring oleh Rusminah. Dalam kasus itu tampak jelas bahwa kerugian materi yang ditimbulkan sangat kecil dan dampak sosialnya pun tidak masif dan terstruktur bagi masyarakat luas. Namun pelakunya tetap dihukum kendati ringan.
Merevisi KUHP
Di sisi lain, publik melihat sejumlah kasus kejahatan yang masif, terstruktur, dan berdampak kerugian besar bagi masyarakat, seperti korupsi politik dan megakorupsi yang melibatkan elite kadang tidak diproses secara benar di pengadilan. Di sini tampak bahwa hukum hanya menjadi benteng bagi elite politik namun menghunus tajam pada kasus yang melibatkan rakyat kecil. Melihat fenomena itu, relevansi kehadiran Perma menjadi penting dalam rangka mewujudkan keadilan, sekaligus efektifitas birokrasi pengadilan, dan efisiensi proses hukum sebagaimana pandangan Robert Cooter, (1987) dalam Law and Economic.
Kelemahan yang mendasar dari Perma Nomor 2 Tahun 2012 adalah regulasi itu hanya merupakan peraturan (regeling) yang mengikat untuk internal hakim-hakim di lingkungan MA, yakni di pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT). Konsekuensinya, ketua pengadilan dalam melihat kasus tindak pidana harus mampu melihat nilai objek sengketa ketika menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, dan penadahan dari jaksa penuntut umum.
Bila mendasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP), kasus pidana harus terlebih dahulu melalui dua pintu, yakni penyidikan di kepolisian dan penuntutan di kejaksaan. Persoalannya, dua institusi hukum ini tidak terikat oleh Perma tersebut. Lebih dari itu, dua institusi hukum itu juga belum merespon secara positif atas Perma, misalnya dengan menindaklanjuti di level bawah kepolisian dan kejaksaan dalam memproses kasus-kasus tipiring.
Ke depan, supaya bisa fungsional menegakkan keadilan maka Perma perlu ditingkatkan menjadi selevel UU agar mengikat semua institusi hukum. Bahkan lebih baik lagi bila terbitnya Perma itu menginspirasi pemerintah dan DPR untuk segera merevisi KUHP dan KUHAP yang tak lagi mampu mengakomodasi keadilan substantif dengan aneka model dan modus kejahatan yang kian kompleks pada pengujung abad milenium. (10)
— Agus Riewanto SH MA, kandidat doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta (/)

0 komentar:

Post a Comment